Tragedi Berdarah Pembantaian Tragedi Mangkuk Merah 1967 merupakan judul dari sebuah artikel kami kali ini. Kami ucapkan Selamat datang di albaniatourism.info, Petualangan Memukau di Tanah yang Penuh Sejarah. Pada kesempatan kali ini, kami masih bersemangat untuk membahas soal Tragedi Berdarah Pembantaian Tragedi Mangkuk Merah 1967.
Tragedi Mangkuk Merah 1967
Tragedi Mangkuk Merah 1967 adalah tragedi kemanusiaan dalam sejarah Indonesia berupa peristiwa pembunuhan dan pengusiran ribuan warga etnis Tionghoa di Kalimantan Barat yang terjadi pada akhir tahun 1967. Peristiwa penyerangan yang di sertai pembunuhan dan pengusiran yang di lakukan oleh ABRI bersama suku Dayak terhadap permukiman warga etnis Tionghoa di pedalaman Kalimantan Barat pada akhir tahun 1967. Peristiwa yang terjadi antara bulan September hingga Desember 1967 ini menjadi salah satu sejarah Indonesia.
Mangkuk Merah sendiri merupakan istilah ritual dan adat suku Dayak sebagai sarana konsolidasi dan mobilisasi pasukan lintas subsuku yang efektif dan efesien dan simbol di mulainya perang.
Tahun 1963 -1966
Dari tahun 1963 -1966, pemerintah Indonesia melakukan konfrontasi terhadap Malaysia. Konfrontasi yang di dasari oleh penolakan pemerintah Indonesia terhadap pembentukan Federasi Malaysia ini melibatkan warga Tionghoa di Kalimantan bagian Utara. Yang juga memiliki sikap sama dengan Indonesia, yakni menentang pendirian Federasi Malaysia yang di dukung penuh oleh Inggris. Penolakan warga Tionghoa ini di dasari oleh kekhawatiran akan terjadinya dominasi warga Melayu Semenanjung Malaya. Terhadap rakyat Kalimantan Utara, khususnya warga Tionghoa.
Dalam upayanya mengganyang Malaysia, pemerintahan rezim Soekarno mengikutsertakan sebagian rakyat Kalimantan Utara yang juga menolak pembentukan Federasi tersebut. Soekarno menugaskan salah satu menterinya. Oei Tjoe Tat menggalang kekuatan warga Tionghoa Kalimantan Utara yang anti-Malaysia guna mendukung konfrontasi melawan Malaysia dan Inggris. Hasilnya, hampir 900 orang Tionghoa Kalimantan Utara bersedia pindah ke daerah Kalimantan Barat untuk memperoleh pelatihan kemiliteran dan di persenjatai oleh pemerintah Indonesia. Kemudian membentuk Pasukan Gerilya Rakyat Sarawak (PGRS) dan Pasukan Rakyat Kalimantan Utara (Paraku) di bawah komando seorang perwira Angkatan Darat yang dekat dengan kelompok kiri. Yakni Brigadir Jenderal Supardjo, yang ketika itu menjabat sebagai Panglima Komando Tempur IV Mandau.
PGRS/Paraku bahu-membahu bersama TNI dan para sukarelawan Indonesia lainnya
Menghadapi pasukan Malaysia yang di bantu bala tentara Gurkha, Inggris, dan Australia sepanjang masa konfrontasi. Wilayah perbatasan antara Kalimantan Barat dengan Kalimantan Utara menjadi medan perjuangan pasukan PGRS/Paraku.
Meletusnya tragedi politik Gerakan 30 September/PKI (G30S/PKI) telah meniadakan peran politik Soekarno serta kekuatan politik kiri (komunis) selaku pendukung utama konfrontasi terhadap Malaysia. Termasuk peran pasukan PGRS/Paraku. Pasca G30S/PKI, pemerintah rezim Orde Baru di bawah Soeharto melakukan upaya penumpasan terhadap seluruh kekuatan politik kiri (komunis) termasuk PGRS/Paraku yang di dominasi etnis Tionghoa dan telah menyebabkan perubahan besar politik Indonesia.
SEMOGA CATATAN HITAM INI TIDAK BERULANG KEMBALI
SEMOGA PARA KORBAN MENINGGAL MENDAPATKAN SURGANYA ALLAH,
DAN SEMOGA YANG MEMUTAR BALIKAN MENJADI FITNAH
MENDAPATKAN GANJARAN-NYA, AAMMIIN.