Peristiwa Talangsari 7 Februari 1989 Tanpa Kepastian Hukum merupakan judul dari sebuah artikel kami kali ini. Kami ucapkan Selamat datang di albaniatourism.info, Petualangan Memukau di Tanah yang Penuh Sejarah. Pada kesempatan kali ini, kami masih bersemangat untuk membahas soal Peristiwa Talangsari 7 Februari 1989 Tanpa Kepastian Hukum.
Minimnya proses penyidikan pelanggaran HAM yang terjadi di Indonesia, membuat kasus Peristiwa Talangsari berjalan selama 35 tahun tanpa kepastian hukum.
Peristiwa Talangsari terjadi pada tanggal 7 Februari 1989 di sebabkan karena penerapan asas tunggal Pancasila di masa Orde Baru. Peristiwa ini berawal dari penetapan semua partai politik yang harus berasaskan Pancasila sesuai dengan usulan pemerintah kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dalam Undang-Undang (UU) Nomor 3 Tahun 1985.
Sejak usulan pemerintah di tetapkan, seluruh organisasi masyarakat (Ormas) di Indonesia wajib mengusung Pancasila. Hal tersebut berlaku juga untuk Ormas keagamaan, sehingga banyak menyasar kelompok Islamis yang bersikap kritis terhadap pemerintah Orde Baru. Salah satunya kelompok orang lampung yang di pimpin Warsidi mendapatkan serangan militer.
Menurut Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS)
Di lansir dari socialnewswatch.com, menurut Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) hingga saat ini belum ada perkembangan signifikan sejak pembentukan tim khusus penyelesaian Peristiwa Talangsari 2011. Sehingga, Peristiwa Talangsari berjalan 34 tahun tanpa kepastian hukum.
Divisi Pemantauan Impunitas KontraS, Jane Rosalina menjelaskan jika suatu negara memiliki instrumen hukum untuk penyelesaian kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) berat masa lalu. Tentu tak ada alasan yang menjadi penyebab kasus pelanggaran HAM berat masa lalu tidak di selesaikan. “Sebab menurut hukum yang berlaku secara universal. Negara sejatinya berkewajiban dalam penyelesaian pelanggaran HAM,” jelasnya saat memberikan keterangan melalui WhatsApp, Senin (20/2).
Lanjut, Jane menuturkan Peristiwa Talangsari tak bisa di selesaikan hanya dengan melakukan akrobat politik berupa ganti rugi berbentuk material. Sebab, bentuk pemulihan dengan memberikan pemulihan secara infrastruktur pembangunan jalan merupakan hak konstitusional yang di miliki oleh setiap warga negara. “Jalur yudisial dan non-yudisial seharusnya di jalankan secara beriringan untuk memastikan hak-hak korban atas keadilannya,” tuturnya.
Empat Langkah yang Wajib di Lakukan Pemerintah
Staf Kampanye Amnesty Indonesia, Aldo Kaligis mengatakan. Terdapat empat langkah yang wajib di lakukan pemerintah dalam menindak lanjuti kasus Talangsari. Yaitu pengungkapan kebenaran, pengadilan, reparasi—mengembalikan kondisi seperti semula, dan reformasi institusi—mencabut peraturan yang memungkinkan terjadi pelanggaran HAM. “Jika di temukan cukup bukti, maka pelaku wajib di adili melalui peradilan,” ujarnya, Senin (20/2).
Selain itu, ucap Aldo, pelanggaran HAM bisa bahaya jika tidak di tuntaskan. Sebab, hal tersebut tidak menimbulkan efek gentar dan jera para terduga pelaku, menimbulkan potensi keberulangan, dan membiarkan diskriminasi. “Selain itu, bisa menimbulkan kemiskinan dan kerentanan kelompok korban,” ucapnya.
Ketua Paguyuban Keluarga Korban Peristiwa Talangsari, Edi Arsadad menjelaskan Presiden Jokowi mengakui adanya peristiwa pelanggaran HAM berat yang terjadi. Namun, dua periode berlalu janji beliau tidak di tepati. Edi menilai Jokowi malah mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang tidak sesuai dengan keinginan korban. “Padahal korban dari awal meminta agar kasus ini di bawa ke pengadilan,” ungkapnya melalui WhatsApp, Rabu (22/2).
Menurut Edi, janji pemerintah memberikan rehabilitas berupa pembangunan jembatan. Serta kebutuhan yang lainnya tidak sebanding dengan stigma yang di rasakan korban meskipun di bayar dengan jumlah uang yang banyak. “Yang kami rasakan selama berpuluh-puluh tahun tak akan tergantikan dengan nilai materi. Kami hanya meminta kasus ini segera di proses melalui pengadilan,” ucapnya.