Kerusuhan Malapetaka 15 Januari (Malari) di Tahun 1974 merupakan judul dari sebuah artikel kami kali ini. Kami ucapkan Selamat datang di albaniatourism.info, Petualangan Memukau di Tanah yang Penuh Sejarah. Pada kesempatan kali ini, kami masih bersemangat untuk membahas soal Kerusuhan Malapetaka 15 Januari (Malari) di Tahun 1974.
Malapetaka 15 Januari 1974 (MALARI) adalah peristiwa kerusuhan di Jakarta. Diawali oleh protes mahasiswa terhadap kedatangan Tanaka, Perdana Menteri Jepang. Tiba-tiba saja, massa mengamuk tidak terkendali. Pembakaran mobil dan motor buatan Jepang terjadi di beberapa titik Jakarta.
Tepat 50 tahun lalu, 15 Januari 1974, Jakarta diamuk massa. Terjadi kericuhan dalam aksi damai mahasiswa memprotes datangnya Perdana Menteri Jepang Kakuei Tanaka ke Indonesia. Insiden itu dikenang dengan nama Peristiwa Malari, akronim Malapetaka Lima Belas Januari.
Ribuan Mahasiswa dan Pelajar SMA Turun ke Jalan
Pada awalnya, ribuan mahasiswa dan pelajar SMA turun ke jalan untuk protes terhadap Tanaka. Mereka berteriak lantang menentang derasnya investasi Jepang yang masuk ke Indonesia. Mereka menganggap modal asing dari Jepang tersebut merupakan bentik penjajahan gaya baru.
Insiden bermula dari mahasiswa yang memprotes semakin besarnya aliran modal asing, terutama Jepang yang di anggap memeras ekonomi Indonesia dan membunuh pengusaha lokal. Demonstrasi menolak kerja sama ekonomi itu di warnai tindakan anarkis. Belasan nyawa melayang, ratusan orang luka, dan kerugian materi dalam jumlah besar.
Selain protes terhadap Tanaka, mahasiswa juga memprotes Bappenas karena Bappenas di anggap telah mengarahkan pembangunan Indonesia ke corak neo-liberal.
Aksi Damai Berubah Menjadi Huru-hara
Pada hari yang nahas itu, pusat pertokoan yang di kenal dengan Proyek Senen di Jakarta di bakar orang. Lebih dari 100 gedung dirusak. Dalam peristiwa “hari anti Jepang” itu, sekitar 800 mobil dan 200 sepeda motor dari Toyota sampai Suzuki di hancurleburkan. Sebelas jiwa melayang, 17 luka parah. Sebanyak 160 kilogram emas amblas dari berbagai toko di Jakarta Barat.
Buntut peristiwa Malari 1974, polisi dan tentara menangkap ratusan orang. Ada sekitar 775 orang di tangkap, 50 orang di antaranya pemimpin mahasiswa dan cendekiawan seperti Hariman Siregar, Sjahir, Yap Thiam Hien, Mohtar Lubis, Rahman Tolleng, Aini Chalid, Sarbini Sumawinata, Dorodjatun Kuntjorojakti, Adna Buyung Nasution, Fahmi Idris, Subadio Sastrosatomo, dan Laksamana Muda Mardanus.
Jadi mereka di tahan berdasarkan Undang-Undang Antisubversi. Kepala Penerangan Departemen Pertahanan dan Keamanan Brigadir Jenderal Sumrahadi ketika itu mengatakan pemerintah juga terpaksa menahan pihak yang di curigai sebagai penggerak peristiwa Malari. Bahkan sejumlah aktivis mantan anggota Partai Sosialis Indonesia dan Masyumi di curigai ada di balik para mahasiswa dan pelajar yang bergerak.
Beberapa kalangan menilai, kerusuhan Malari di tunggangi oleh para jenderal di sekitar Soeharto. Hal itu di karenakan Hariman Siregar, Ketua Dewan Mahasiswa UI saat itu mengatakan bahwa tidak ada rencana Pembakaran produk-produk buatan Jepang ketika melakukan demonstrasi. Hingga saat ini, kerusuhan Malari belum berhasil di ungkap.
Para Tahanan yang Dibebaskan
Para tahanan kebanyakan di bebaskan karena kurang bukti. Yap Thiam Hien dan Mochtar Lubis di lepas setelah setahun di tahan. Adnan Buyung Nasution di bebaskan pada Oktober 1975 bersama sebelas mahasiswa, di antaranya Judilherry Justam, Theo Sambuaga, Bambang Sulistomo, Eko Jatmiko, Yessy Moninca, dan Remy Leimena.
Hanya Hariman Siregar dan Sjahrir dari Universitas Indonesia serta Aini Chalid dari Universitas Gadjah Mada yang di sidangkan ke pengadilan. Ketiganya di pasalkan melakukan perbuatan subversi dan makar. Jaksa menggunakan pernyataan Hariman dan Sjahrir dalam sejumlah pertemuan Dewan Mahasiswa UI dan Gerakan Diskusi UI untuk menjerat keduanya sebagai koordinator lapangan dan di duga otak Peristiwa Malari.
Ada sejumlah kejanggalan dalam peradilan. Dalam persidangan, sejumlah saksi menarik keterangannya di berita acara pemeriksaan. Ada yang mengaku tak sadar dan merasa terancam saat memberikan kesaksian. Beberapa yang lain tak tahu keterangannya di gunakan untuk menjerat Hariman dan Sjahrir. Jaksa akhirnya bergantung pada informasi intelijen Operasi Khusus.
Anehnya, meski tak cukup bukti menggerakkan kerusuhan, Hariman Siregar di jatuhi hukuman 6 tahun 6 bulan penjara pada 21 Desember 1974. Sehingga hakim menganggap kelalaiannya telah berujung pada aksi pembakaran dan perusakan. Siburian kepada albaniatourism.info mengatakan alasan itu tak masuk akal. Tudingan hakim seperti menyalahkan pembeli jam tangan di pinggir jalan yang rawan jambret.
“Kelalaian ini sama seperti kelalaian seseorang yang membeli arloji di pinggir jalan, padahal tahu di Jakarta sering ada penjambretan,” kata Siburian, seperti di kutip majalah albaniatourism.info edisi 28 Desember 1974.
Selang beberapa bulan kemudian, tepatnya Kamis malam, 12 Juni 1975, giliran Sjahrir yang di vonis. Majelis hakim yang di pimpin Anton Abdurrahman Putera menjatuhkan hukuman kepada Mahasiswa UI itu berupa 6 tahun 6 bulan penjara. Sedangkan Aini Chalid, mahasiswa UGM itu di vonis bui selama 2 tahun 2 bulan.