Latar Belakang Terjadinya Revolusi Sosial 1946 di Sumatera Timur merupakan judul dari sebuah artikel kami kali ini. Kami ucapkan Selamat datang di albaniatourism.info, Petualangan Memukau di Tanah yang Penuh Sejarah. Pada kesempatan kali ini, kami masih bersemangat untuk membahas soal Latar Belakang Terjadinya Revolusi Sosial 1946 di Sumatera Timur.
Pendahuluan
albaniatourism.info – Latar Belakang Terjadinya Revolusi Sosial 1946 di Sumatera Timur. Pada tanggal 3 Maret tahun 1946 tengah malam meletuslah revolusi sosial di berbagai wilayah di Sumatera Timur. Peristiwa ini di pelopori oleh Pesindo yaitu Pemuda Sosialis Indonesia atau organisasi di bawah kontrol Partai Komunis Indonesia (PKI).
Istana di serbu dan di rampok, beberapa orang raja dan kaum bangsawan di bunuh dalam peristiwa ini.
Dendam pribadi pun turut membonceng teror berkecamuk di wilayah NKRI atau Negara Republik Indonesia yang makmur ini.
Dalam kesempatan ini, Jadi Latar Belakang Terjadinya Revolusi Sosial 1946 di Sumatera Timur, dengan rencana PKI paralel rencana NICA, yaitu menimbulkan Anarki di wilayah NKRI, hanya istana kesultanan Serdang yang tidak di serbu.
“Pada malam itu, Panglima TKR (Tentara Keamanan Rakyat) milik Republik Indonesia yaitu Kolonel Achmad Tahir yang sedang rapat, staf menerima telepon dari TKR Pematang bahwa teror telah meletus dan raja-raja telah di bunuh PKI. Kolonel Tahir segera memerintahkan Kapten Teungku Nurdin yaitu komandan Batalyon TKR di Melati agar mengambil-alih pengawalan Kraton kota Galuh di Perbaungan,” (Zainuddin A Rachman 1997 halaman: 148).
Ribuan Nyawa Para Bangsawan di Cabut Paksa
Ribuan nyawa para bangsawan di Sumatera Timur harus di cabut paksa di tangan gerombolan revolusi yang mengatasnamakan Pro Republik Indonesia.
Mereka menyebutkan bahwa para Sultan, Raja, Datuk ataupun Tuan adalah musuh perjuangan rakyat Republik Indonesia, benteng feodalisme harus di hancurkan dari Sumatera Timur. Itulah pesan yang di bawa mereka.
Pada 3 Maret 1946 revolusi sosial di Sumatera Timur kemudian pecah, aksi massa Pesindo, PNI dan PKI melakukan revolusi atau pemberontakan besar-besaran secara biadab dan serempak di Sumatera Timur, membumihanguskan istana-istana kerajaan, membunuh para kaum bangsawan, menculik dan lalu membunuhnya.
Massa Pro komunis membunuh sejumlah Sultan dan keluarganya, membunuh golongan menengah Pro Republik Indonesia dan membunuh pimpinan lokal administrasi Republik Indonesia.
Mereka menyebutkan bahwa para Sultan, Raja Datuk ataupun Tuan adalah musuh perjuangan rakyat Republik Indonesia, branding feodalisme harus di hancurkan dari Sumatera Timur.
Pada tanggal 6 Maret 1946 Wakil Gubernur dr.Aamir secara resmi mengangkat Muhammad Yusuf Nasution yang merupakan ketua PKI wilayah Sumatera Timur sebagai Residen di sana.
Pembunuhan Beberapa Sultan, Kerabat dan Kaum Bangsawan
Seperti yang terjadi di Kesultanan Kualuh salah satu Kerajaan Melayu yang berada di Tanjung Pasir. Kabupaten Labuhanbatu Utara, pada 3 Maret 1946 lalu.
Sultan Kualuh, Tuanku Al-Hadji Muhammad Syah di serang saat sedang shalat malam di rumahnya oleh sekelompok orang. Kemudian ia di bawa ke kawasan kuburan cina, sebuah Kompleks pemakaman etnis Tionghoa.
Sekelompok orang bersenjata tajam juga membawa Tengku Mansyur Syah gelar Tengku besar Putra Sultan Kualuh ke lokasi yang sama. Kemudian juga Tengku Di rmansyah adik kandung Tengku Mansyur Syah. Ketiganya kemudian di siksa lalu di tinggalkan begitu saja dalam keadaan sekarat. Beruntung pada pagi hari seorang nelayan yang sedang melintas menemukan ketiganya. Kemudian membawa para korban ke istana untuk mendapatkan perawatan.
Sekitar pukul sebelas siang datang sekelompok orang berbeda menjemput ketiganya dengan alasan akan membawa ke rumah sakit.
Sejarawan Melayu mengatakan
Sejarawan Melayu, Tengku Haris Abdullah Sinar dalam sebuah literatur mengatakan. “para pendiri Kesultanan Kualuh tersebut di bunuh saat adzan sedang berkumandang,”
“Saat hendak di bunuh, Tuanku sempat berkata: Bila kalian hendak membunuh kami. Tunggu adzan selesai di kumandangkan dan izinkan kami sembahyang sekejap, pinta tuanku saat itu,”
“Ternyata permintaan tersebut tidak di kabulkan, Sultan Kualuh dan kedua putranya tewas di bunuh. Peristiwa serupa juga terjadi di Kesultanan Panai, Kotapinang, Negeri Padang, Tebing Tinggi dan Kesultanan Bilah yang menewaskan Tuanku Hasnan”.
Kesultanan Langkat juga mengalami nasib serupa, tidak sedikit perempuan keluarga Kesultanan di perkosa di hadapan orang tua dan keluarganya.
Sedangkan laki-laki di bantai dengan sadis, akibatnya Kesultanan Langkat banyak kehilangan petinggi kerajaan dan sejumlah pakar dalam peristiwa ini. Seorang sastrawan Tengku Amir Hamzah, Pangeran Langkat Hulu dan Wakil Pemerintah Republik Indonesia saat itu juga turut di bunuh.
Peristiwa pembunuhan Tengku Amir Hamzah terjadi pada tanggal 7 Maret tahun 1946. Dalam peristiwa itu Tengku Amir Hamzah dan sejumlah petinggi Kesultanan Langkat di jemput paksa menggunakan truk terbuka oleh sekelompok orang. Kemudian di kumpulkan di Jalan Imam Bonjol, Kota Binjai bersama tahanan lainnya.
Tengku Amir Hamzah di siksa. Kemudian di bunuh di kawasan Kuala Begumit oleh mandor Iyang Wijaya yang tidak lain adalah pelatih senior silat Kuntau istana Langkat.
Sebelum melakukan pembunuhan, algojo mengabulkan 2 permintaan Tengku Amir Hamzah;
1.Tengku Amir Hamzah minta penutup matanya di buka, karena ia ingin menghadapi ajal dengan mata terbuka.
2.Tengku Amir Hamzah meminta waktu untuk shalat sebelum hukuman di jatuhkan.
Pembantaian dan pembunuhan juga terjadi di Negeri Padang. Salah satu Kerajaan Melayu di Tebing Tinggi pada tanggal 3 Maret tahun 1946.
Dalam peristiwa ini, cucu Tengku Tebing Pangeran dan Tengku Sortia tewas di tangan sekelompok orang. Peristiwa terjadi saat Tengku Sortia sedang shalat di rumahnya di kawasan Tongkah Perkebunan tembakau milik kerajaan Negeri Padang bersama istrinya Maimunah.
Perkebunan Tongkah berada di antara Kabupaten Simalungun dan Serdang Bedagai. Tengku Sortia di seret dari rumah kemudian di bunuh, jasadnya di hanyutkan ke sungai tidak jauh dari rumahnya.
Di malam yang sama pada tanggal 3 Maret tahun 1946. Kesultanan Asahan di Tanjungbalai juga mengalami nasib serupa, sebelum adzan Shubuh berkumandang. Tengku Muhammad Yasir menyambut sang ayah di rumahnya yang baru tiba di istana.
Penangkapan Ayahnya Tengku Muhammad Yasir
Setelah bersiaga akibat tersiar kabar akan terjadi penyerangan. Rumah cucu Sultan Asahan ke-10 ini berada di lingkungan Istana Kesultanan Asahan di lingkaran Kotaraja Indrasakti yang di tengahnya terhampar lapangan hijau.
Tengku Muhammad Yasir yang saat itu masih berusia 15 tahun melihat sejumlah orang mengendap-ngendap ke arah Istana.
Saat membukakan pintu untuk ayahnya, karena takut Tengku Muhammad Yasir kemudian masuk kedalam rumah bersama ayahnya, pada pukul 06.00 pagi. Istana Kesultanan Asahan di serang sekelompok orang, saat itu Tuanku Syaiful Abdul Jalil Rahmat Syah berhasil melarikan diri melalui pintu belakang istana.
Satu jam kemudian, sekelompok orang datang kerumah Tengku Muhammad Yasir dan membawa ayahnya. Tengku Muhammad Yasir tidak turut di bawa karena sedang mengalami sakit kaki yang mengalami pembusukan hingga mengeluarkan aroma tidak sedap.
Setelah penangkapan ayahnya, Tengku Muhammad Yasir menyelamatkan diri ke rumah kakak sepupunya yaitu Tengku Hania. Ternyata Tengku Muhammad Yasir tidak menemukan seorangpun lelaki di situ, semua telah di tangkap sekelompok orang.
Dokumen Belanda memperkirakan pembantaian di wilayah Kesultanan Asahan pada tahun 1946 menelan korban mencapai 1200 orang. Belum lagi di sejumlah Kerajaan Melayu dan kesultanan di Sumatera Timur lainnya.
Banyak kerangka korban yang terkubur tak beraturan di sungai Lendir bahkan ada di dinding-dinding tanah.
Langkah yang Di tempuh Untuk Memicu Pergerakan Massa
Pada tanggal 5 Maret, Wakil Gubernur dr.Aamir mengeluarkan pengumuman: “bahwa gerakan yang terjadi itu adalah suatu revolusi sosial”. “supaya korban revolusi sosial itu harus di minimalisir residen Sumatera Timur di pimpin oleh Muhammad Yusuf Nasution untuk sementara waktu yang bekerjasama dengan BP.KNIP maupun Volksfront dan Mr Luat Siregar di angkat menjadi juru damai (pacifikator) untuk seluruh wilayah Sumatera Timur dengan kewenangan seluas-luasnya” ( Zainudin A Rachman halaman 152-153).
Rupa-rupanya dr.Amir dan Muhammad Yusuf Nasution telah merekayasa pergerakan rakyat, sedemikian rupa untuk memuluskan perjuangan rakyat. Terwujudnya pemerintahan Republik Indonesia yang berdaulat di Sumatera merangsang perjuangan rakyat dengan membumihanguskan benteng feodalisme yaitu kerajaan-kerajaan di Sumatera Timur. Membabat habis keturunan Sultan, Datuk, Raja, Tuan dan menggantikan kekuasaan yang menjadi kekuatan rakyat.
Akhirnya dengan mulus gerakan revolusi memaksa penghapusan otonomi kekuasaan Sultan Raja dan Tuan di Sumatera Timur di proklamirkan revolusi sosial menyisakan cerita pembantaian ribuan nyawa. Pemenggalan ribuan kepala di Sumatera Timur, keterlibatan aktivis Partai Komunis dalam revolusi sosial di Sumatera Timur memberikan kontribusi besar karena sangat jelas bahwa ketua PKI Sumatera Timur waktu itu yaitu Muhammad Yusuf Nasution di angkat sebagai residen Sumatera Timur oleh wakil gubernur Sumatera yaitu dr.Amir sehingga revolusi ini terus berlangsung sekian waktu.
Tentara Pemerintah Republik Indonesia waktu itu tidak dapat berbuat banyak Karena posisinya masih lemah. Pergerakan aktivis Pro kemerdekaan yang semula terorganisir malah menjadi brutal dan sangat biadab sehingga kekacauan pun terjadi di seluruh Sumatera Timur.
Aksi revolusi sosial di Sumatera Timur sangat mencoreng perjuangan kemerdekaan Republik Indonesia di mata internasional.***