Kasus Pembunuhan Marsinah yang Mengguncang Indonesia merupakan judul dari sebuah artikel kami kali ini. Kami ucapkan Selamat datang di albaniatourism.info, Petualangan Memukau di Tanah yang Penuh Sejarah. Pada kesempatan kali ini, kami masih bersemangat untuk membahas soal Kasus Pembunuhan Marsinah yang Mengguncang Indonesia.

Kasus pembunuhan Marsinah, seorang aktivis buruh, telah menjadi salah satu peristiwa kelam dalam sejarah Indonesia. Terjadi pada tahun 1993, kasus ini bukan hanya mengguncang dunia perburuhan, tetapi juga membuka mata masyarakat tentang pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi di negara ini. Hingga kini, ingatan tentang Marsinah dan perjuangannya masih hidup di benak banyak orang, menjadi simbol perlawanan terhadap ketidakadilan.

Siapa Marsinah?

Marsinah

Jadi Marsinah lahir pada 10 April 1969 di Nglundo, Sukomoro, Nganjuk, Indonesia.

Marsinah adalah seorang aktivis dan buruh pabrik pada masa Orde Baru, bekerja pada PT Catur Putra Surya Porong, Sidoarjo yang di culik dan kemudian di temukan terbunuh pada 8 Mei 1993, Sebagai seorang aktivis buruh, ia terlibat aktif dalam organisasi buruh di pabrik tempatnya bekerja. Marsinah di kenal karena semangatnya dalam memperjuangkan hak-hak buruh, termasuk upah yang layak dan kondisi kerja yang lebih baik. Namun, perjuangannya ini harus berakhir tragis ketika ia di culik dan di bunuh pada 8 Mei 1993. Setelah menghilang hilang dari 5 – 8 Mei 1993 (3 hari) selama tiga hari. Mayatnya di temukan di hutan yang berada di Wilangan dengan tanda-tanda bekas penyiksaan berat.

Kronologi Kasus Pembunuhan

Pada malam penculikan, Marsinah di laporkan hilang setelah menghadiri sebuah pertemuan organisasi buruh. Beberapa hari setelahnya, jasadnya di temukan di sebuah area perkebunan, dengan tanda-tanda kekerasan yang mengerikan. Penemuan ini mengejutkan publik dan memicu protes massal dari kalangan buruh dan aktivis hak asasi manusia.


Marsinah di jemput di rumah pondokan
untuk suatu perhelatan.
Lalu Ia di antar ke rumah Siapa,
Ia di sekap di ruang pengap,
Ia di ikat ke kursi,
mereka pikir waktu bisa di sumpal
agar detik-detiknya tak menjerit lagi.

Ia tidak di beri air,
ia tidak di beri nasi,
detik pun gerah
berloncatan ke sana kemari.
Dalam perhelatan itu
kepalanya di letak
selangkangnya di acak-acak
dan tubuhnya di kekalkan
dengan besi batangan

Detik pun tergelak,
Marsinah pun abadi.

~ Penggalan puisi berjudul Dongeng Marsinah karya Sapardi Djoko Damono ~

Pada awal 1993, pemerintah mengeluarkan imbauan kepada pengusaha Jawa Timur untuk menaikkan gaji pokok karyawan sebesar 20 persen. Namun, imbauan itu tidak segera di kabulkan para pengusaha, termasuk oleh PT CPS, tempat Marsinah bekerja.

Alhasil, hal itu memicu unjuk rasa dari para buruh yang menuntut kenaikan upah.

Pada 2 Mei 1993,

Marsinah terlibat dalam rapat perencanaan unjuk rasa yang di gelar di Tanggulangin, Sidoarjo.

Pada 3 Mei 1993,

para buruh mencegah teman-temannya bekerja untuk melakukan aksi mogok.

Namun, Komando Rayon Militer (Koramil) setempat langsung turun tangan untuk mencegah aksi para buruh PT CPS tersebut.

Keesokan harinya,

para buruh mogok total dan mengajukan 12 tuntutan kepada PT CPS. Salah satu tuntutan buruh adalah kenaikan gaji pokok dari Rp 1.700 per hari menjadi Rp 2.250 per hari.

Selain itu, mereka juga meminta tunjangan Rp 550 per hari yang tetap bisa di dapatkan ketika buruh absen.

Marsinah pun menjadi salah satu dari 15 orang perwakilan buruh yang melakukan perundingan dengan pihak perusahaan.

Ia masih terlibat dalam perundingan-perundingan hingga 5 Mei 1993. Pada siang hari tanggal 5 Mei 1993, sebanyak 13 buruh yang di anggap menghasut rekan-rekannya untuk berunjuk rasa, di giring ke Komando Distrik Militer (Kodim) Sidoarjo.

Mereka kemudian di paksa mengundurkan diri dari PT CPS karena di tuduh telah menggelar rapat gelap dan mencegah karyawan lain bekerja.

Kala itu, Marsinah di kabarkan sempat mendatangani Kodim Sidoarjo untuk menanyakan keberadaan 13 rekannya yang sebelumnya di giring ke sana.

Namun, sekitar pukul 10 malam tanggal 5 Mei 1993, Marsinah menghilang.

Keberadaan Marsinah tidak di ketahui lagi hingga jasadnya di temukan dalam kondisi mengenaskan di Nganjuk pada 9 Mei 1993.

Berdasarkan hasil autopsi, Marsinah di ketahui telah meninggal dunia pada satu hari sebelum jenazahnya di temukan, yakni pada 8 Mei 1993.

Adapun penyebab kematian Marsinah adalah penganiayaan berat. Selain itu, Marsinah juga di ketahui telah di perkosa.

Investigasi awal di lakukan, namun proses hukum berjalan lamban dan penuh dengan intervensi politik. Masyarakat menuntut keadilan, tetapi banyak pihak yang mencoba menutup-nutupi fakta-fakta yang ada.

Siapa pembunuh Marsinah?

Kasus pembunuhan Marsinah mendapatkan reaksi keras dari masyarakat dan para aktivis HAM.

Para aktivis kemudian membentuk Komite Solidaritas untuk Marsinah (KSUM) dan menuntut pemerintah menyelidiki dan mengadili para pelaku pembunuhan.

Presiden Soeharto meminta agar kasus Marsinah di usut dengan tuntas, Soeharto juga menekankan agar kasus pembunuhan Marsinah tidak di tutup-tutupi.

“Masyarakat jangan berprasangka dulu sebab pemerintah akan menuntaskan kasus ini. Dan, biarkan petugas berwenang menangani kasus itu hingga selesai serta memutuskannya sesuai dengan hukum dan undang-undang yang berlaku, serta menghukum mereka yang bersalah,” ujar Soeharto kala itu.

Ketika itu, memang muncul kerugiaan terhadap aparat terkait kasus pembunuhan Marsinah.

Sebelum pidato Soeharto,

pada 30 September 1993, pemerintah telah membentuk Tim Terpadu Bakorstanasda Jawa Timur untuk menyelidiki kasus Marsinah.

Selanjutnya 8 orang petinggi PT CPS di tangkap secara diam diam dan tanpa prosedur resmi.

Salah satu orang yang di tangkap adalah Kepala Personalia PT CPS, Mutiari, yang kala itu sedang hamil.

Selain itu, pemilik PT CPS, Yudi Susanto, juga turut di tangkap dan di interogasi.

Orang-orang yang di tanggap itu di ketahui menerima siksaan berat, baik secara fisik ataupun mental, serta di minta mengakui telah merencanakan penculikan dan pembunuhan terhadap Marsinah.

Selama proses penyelidikan dan penyidikan, Tim Terpadu telah menangkap serta memeriksa 10 orang yang di duga terlibat dalam pembunuhan Marsinah.

Hasil dari Penyelidikan

albaniatourism.info Kasus Pembunuhan Marsinah yang Mengguncang Indonesia

Dari hasil penyelidikan itu di sebutkan bahwa Suprapto, seorang pekerja di bagian kontrol PT CPS, menjemput Marsinah dengan sepeda motornya di dekat rumah kos aktivis buruh itu.

Marsinah kemudian di sebut di bawa ke rumah Yudi Susanto di Jalan Puspita, Surabaya. Setelah tiga hari di sekap, Marsinah di sebut di bunuh oleh Suwono, seorang satpam di PT CPS.

Pemilik PT CPS, Yudi Susanto, kemudian di jatuhi vonis 17 tahun penjara. Sementara itu, beberapa staf PT CPS di jatuhi hukuman sekitar empat tahun hingga 12 tahun penjara.

Akan tetapi, Yudi Susanto kala itu kukuh menyatakan tidak terlibat dalam pembunuhan Marsinah dan diri nya hanya menjadi kambing hitam.

Ia kemudian naik banding ke Pengadilan tinggi dan di nyakan bebas.

Para staf PT CPS yang di jatuhi hukuman juga naik banding hingga mereka di bebaskan dari segala dakwaan atau bebas murni oleh Mahkamah Agung.

Putusan Mahkamah Agung tersebut tentu mengundang kontroversi dan ketidakpuasan masyarakat.

Para aktivis terus menyuarakan tuntutan agar kasus pembunuhan Marsinah di selidiki dengan terang dan kecurigaan terhadap keterlibatan aparat militer di ungkap.

Hingga kini, Marsinah masih di kenang sebagai pahlawan buruh. Ia juga di anugerahi Penghargaan Yap Thiam Hien.

Kisah Marsinah juga telah di angkat ke dalam berbagai karya sastra dan seni pementasan.

Kesimpulan

Kasus pembunuhan Marsinah adalah pengingat penting tentang pentingnya memperjuangkan keadilan dan hak asasi manusia. Menggali kembali kasus ini bukan hanya untuk mengenang Marsinah, tetapi juga untuk memastikan bahwa suara-suara yang memperjuangkan keadilan tidak akan pernah padam. Dalam perjuangan ini, keadilan bukan hanya untuk Marsinah, tetapi untuk semua korban pelanggaran hak asasi manusia di Indonesia.